Sabtu, 24 Maret 2012

Mengejar atau Dikejar?


Masing-masing perempuan memang punya alasan dan pandangan. Sah saja bila kamu menyatakan
perasaanmu terlebih dulu. Ada juga, kan, tipe laki-laki
yang terlalu takut mengungkapkan isi hatinya.
Mereka bisa jadi menunggu respons positif, memastikan perasaanmu dulu, sementara
kebanyakan perempuan ingin sebuah kepastian. Menurut Fuad Nashori, Dekan Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya UII, ada dua tipe perempuan,
terbuka (ekstrovert) dan tertutup (introvert).
Perempuan ekstrovert cenderung bisa
mengungkapkan perasaannya, terutama lewat
tindakan. Tapi, tak jarang juga yang menyatakan dengan gamblang. Berkebalikan dengan perempuan
introvert yang cenderung menyimpan sendiri apa
yang ia rasakan pada seseorang. Jadi, pilihan
menyatakan perasaan atau tidak juga bisa dikaitkan
dengan sifat dasar perempuan.
Nah, bagaimana dengan perempuan yang berjuang
mati-matian mendapatkan laki-laki?
Nah, ini ada sebuah cerita berhubungan dengan artikel ini, sebagai contoh aja ya.
Semasa kuliah, teman saya mencintai laki-laki yang pada waktu itu
sudah punya pacar. Karena laki-laki dan pacarnya
saat itu termasuk populer di kampus, dia menahan
perasaan karena merasa nggak mungkin bisa
mendapatkan laki-laki itu. Tapi usahanya nggak berhenti. Dia masih terus
mencari informasi, sampai suatu saat dia mendapat
kabar laki-laki itu putus dari kekasihnya. Dia pun
bergerak cepat. Awalnya dengan kedok menghibur,
lalu dalam 18 hari kedekatan mereka, teman saya
memberanikan diri menyatakan perasaannya. Gayung bersambut, laki-laki itu menerima. Celakanya,
dia cuma menjadikan teman saya sebagai pelarian
sambil terus berusaha kembali ke mantan pacarnya.
Kalau kamu kira teman saya akan sakit hati dan
memilih pergi, kamu salah. Teman saya masih dengan
setia mendampingi laki-laki itu, walaupun dia tahu semua usaha yang dilakukan laki-laki itu untuk bisa
mendekati mantannya lagi. Dia korbankan semua.
Semuanya. Termasuk mau nggak diakui sebagai pacar di kampus karena takut hubungan itu diketahui mantannya. Akhirnya, ketika laki-laki itu nggak mendapat respons
positif dari sang mantan, apa yang dilakukannya?
Kembali ke teman saya! Sebagian dari kita pasti akan
menolaknya mentah-mentah. Dia menyia-nyiakan
teman saya lalu kembali lagi ketika butuh tempat
bersandar dan karena memang nggak punya kesempatan kembali ke mantannya lagi. Tapi nggak
dengan teman saya yang mau menerima laki-laki itu.
Dengan segala perjuangannya bersabar hingga
meminta dukungan keluarga besar si laki-laki, teman
saya berhasil mempertahankan laki-laki yang dia
cintai, tapi entah dengan perasaan laki-laki itu pada teman saya. Bagaimana menurut Fimelova? Cinta memang identik dengan pengorbanan, tapi bukankah logika juga ikut
andil untuk menentukan sejauh mana pengorbanan
pantas dilakukan? Perlukah sejauh itu berkorban
untuk dapatkan cinta seseorang yang belum tentu
sepenuh hati mencintai kita? Atau, memang itu cara
yang kita cintai juga mencintai kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar